Halaman

07 Februari 2012

MISI HOLISTIK: PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU


oleh: Pdt. Ir. Armand Barus, Ph.D. 
 Pendahuluan Misi holistis merupakan tema penting dalam misiologi. Mengapa? Karena selama ini dianggap praktik misi jemaat Kristen tidak bersifat holistis.1 Banyak pakar merasa perlu menambah kata sifat holistis pada kata misi.2 Misi yang dilakukan gereja selama ini dianggap bersifat fragmentaris, bukan suatu keutuhan. Banyak yang memisahkan dengan tajam pemberitaan Injil dan perbuatan sosial. Jadi frasa misi holistis merupakan upaya merumuskan misi kontemporer sebagai suatu keutuhan. Misi dipandang sebagai suatu tindakan utuh yang meliputi baik pemberitaan Injil maupun perbuatan sosial. Keduanya dianggap sama pentingnya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah misi dalam PB mengenal dikotomi pemberitaan Injil dan perbuatan sosial? Pertanyaan ini dijawab melalui dua narasi dari Injil Yohanes dengan penelitian naratif.3 Dikotomi Pemberitaan Injil dan Perbuatan Sosial? 1. Yesus dan Orang Lumpuh (Yohanes 5:1-18) Narator memberi informasi bahwa Yesus berada di Yerusalem di mana terdapat banyak orang sakit (ay. 3). Salah seorang diantaranya menderita avsqe,neia selama 38 tahun (ay. 5).4 Meski lama penyakitnya diketahui namun narator tidak menyebutkan namanya. Karena narator kelihatannya ingin memfokuskan narasi pada protagonis. Pembaca bayangan (implied reader) harus mefokuskan proses pembacaan pada protagonis ketimbang orang lumpuh. Narator melukiskan orang tersebut sebagai lumpuh atau sedikitnya tidak bisa berjalan (ay. 6-9). Pernyataan orang lumpuh pada ayat 7 mengindikasikan bahwa ia tidak memiliki teman yang menolongnya dan juga sudah tanpa harapan. Ia sendirian dan tanpa harapan. Ia juga diasingkan oleh masyarakat.5 Yesus tersentuh hati-Nya melihat keadaan orang lumpuh yang menderita selama 38 tahun tersebut. Perlu dicatat bahwa Yesus tidak menyembuhkan semua orang sakit yang berada di kolam Betesda. Yesus hanya menyembuhkan seorang lumpuh. Yesus menghidupkan pengharapan untuk sembuh yang sudah padam (ay. 6). Namun orang lumpuh tersebut terlihat tidak siap menjawab pertanyaan Yesus. Ia tidak mengharapkan Yesus akan menyembuhkannya (ay. 7). Orang lumpuh itu malah menyalahkan orang lain yang tidak memberi kesempatan dan menolongnya untuk sembuh. Tetapi Yesus menyembuhkannya. Meski disembuhkan oleh Yesus orang lumpuh tersebut tidak memperlihatkan rasa terima kasih kepada Yesus yang menyembuhkannya. Jangankan berterima kasih ia malah tidak tahu siapa nama yang menyembuhkannya (ay. 11, 13). Ketika pemimpin agama Yahudi menuduhnya melanggar sabat ia tidak bisa menerima. Orang lumpuh yang disembuhkan tersebut malah menuduh Yesus yang menyebabkannya melanggar sabat. Kesembuhan yang dialaminya telah melepaskannya dari penderitaan yang panjang. Ia sembuh dengan mematuhi perkataan Yesus (ay. 8). Namun kepatuhan terhadap perkataan Yesus yang menyembuhkannya malah menjadi alasan mengapa ia melanggar sabat (ay. 11). Kita tidak tahu mengapa kemudian orang lumpuh tersebut berada di bait suci (ay. 14). Mungkin ia hendak bersyukur kepada Allah untuk kesembuhannya. Mungkin ia ingin beribadah di bait suci sehingga diterima kembali oleh masyarakat. Apapun alasannya jelas ia tidak peduli terhadap Yesus yang menyembuhkannya. Meski demikian Yesus mencarinya (ay. 14). Ketika bertemu Yesus menawarkan kesembuhan bentuk lain kepadanya. Kata u`gih,j, yang muncul 5 kali (ay. 6, 9, 11, 14, 15), dalam masyarakat Greko-Romawi dan juga masyarakat Yahudi memiliki arti ganda. Kata u`gih,j memiliki konotasi kesejahteraan secara fisik dan rohani.6 Yesus telah menyembuhkan secara fisik. Kini Yesus menawarkan kesembuhan rohani. Penolakan kesembuhan rohani tersebut akan mengakibatkan penderitaan yang lebih hebat dari penderitaan selama 38 tahun menderita lumpuh. Menolak kesembuhan rohani berarti diasingkan dari hadirat Allah. Protagonis mengingatkannya untuk tidak menolak kesembuhan rohaninya. Inilah mengapa Yesus memerintahkan7 kepada orang lumpuh tersebut untuk tidak berbuat dosa lagi. Ini tidak berarti bahwa penyakitnya dahulu adalah akibat dosa. Melainkan perintah Yesus merupakan suatu undangan untuk percaya kepada-Nya.8 Orang lumpuh tersebut disembuhkan Yesus. Tetapi ia tidak memiliki relasi dengan Yesus. Menerima kesembuhan fisik tetapi tidak mau menerima kesembuhan rohani akan berakibat penderitaan yang sangat hebat, lebih hebat dari penderitaan fisik sebelumnya. Untuk kedua kalinya orang lumpuh tersebut menyalahkan Yesus. Kali ini dengan melaporkan Yesus kepada pemimpin agama Yahudi (ay. 15). Dua kali Yesus menawarkan kesembuhan tetapi tidak ada respons yang jelas dari orang lumpuh untuk percaya kepada Yesus. Apakah kita dapat mengatakan bahwa ia tidak percaya kepada Yesus? Sulit dipastikan. Apakah kemudian hari ia percaya kepada Yesus tidak dilaporkan oleh narator. Meski demikian jelas terungkap bahwa menerima kesembuhan dari Yesus tidak dengan sendirinya membawa seseorang kepada relasi pribadi dengan Yesus. Mengalami kesembuhan tidak berarti melahirkan iman pada Yesus. Yesus lebih mengutamakan kesembuhan rohani ketimbang kesembuhan fisik. 2. Yesus dan Orang Buta (Yoh. 9) Narasi Yohanes 9 menceritakan tentang seorang buta sejak lahirnya. Jika dibandingkan dengan narasi orang lumpuh 5:5-9 terlihat beberapa kesejajaran. Orang buta sejak lahir, tidak seperti orang lumpuh yang disembuhkan dengan perkataan Yesus, disembuhkan melalui perbuatan dan kemudian oleh perkataan Yesus.9 Tidak seperti orang lumpuh, orang buta sejak lahir dipandang orang banyak sebagai orang berdosa (ay. 2). Bahkan dianggap sebagai orang berdosa sejak lahirnya (ay. 34). Orang buta, seperti orang lumpuh, hidup tanpa pengharapan (ay. 32). Baik orang lumpuh maupun orang buta tidak disebutkan namanya. Baik orang lumpuh maupun orang buta adalah orang dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa penderitaan mereka relatif lama. Keduanya juga diasingkan oleh masyarakat. Baik orang lumpuh maupun orang buta tidak berterima kasih kepada Yesus setelah disembuhkan. Orang buta menjadi celik setelah membasuh matanya dengan air di kolam Siloam (ay. 7). Ketika matanya celik, seperti orang lumpuh, ia tidak kembali kepada Yesus. Ia sama sekali tidak mengekpresikan rasa terima kasihnya kepada Yesus. Apakah ia begitu terpesona melihat keindahan kota Yerusalem? Apakah ia ingin segera memberitahu orang tuanya bahwa matanya sudah celik? Tidak dapat dipastikan. Tetapi jelas mengalami kesembuhan tidak dengan sendirinya menjadi percaya pada Yesus. Salah satu yang menonjol dalam Yohanes 9 adalah narasi orang buta mengambil ruang yang lebih banyak ketimbang narasi tentang Yesus. Meski demikian orang buta bukanlah protagonis karena Yesus tetap menjadi protagonis. Narasi orang buta bercerita tentang Yesus. Narasi orang buta dibuat lebih rinci karena narator ingin menguraikan perkembangan iman orang buta dari tidak percaya menjadi percaya. Berbeda dengan orang lumpuh, orang buta yang celik matanya mengetahui nama Yesus meski secara tidak langsung (ay. 11). Ketika kembali ke rumah, tetanggatetangganya tidak percaya melihat perubahan yang terjadi pada dirinya. Ketimbang merayakan kesembuhannya, tetangga-tetangganya malah membawanya kepada pemimpin agama Yahudi. Disinilah letak keindahan narasi terjalin. Melalui ketidak percayaan tetangganya dan pemimpin agama Yahudi bahwa matanya sudah celik, orang buta menjadi percaya pada Yesus. Melalui penolakan mereka akan kesembuhannya, orang buta dibawa kepada penerimaan akan Yesus. Narasi mengisahkan bagaimana relasi orang buta dengan Yesus berkembang semakin dalam melalui penganiayaan. Pertama sekali ia hanya mengenal nama Yesus (ay. 11). Kemudian karena tekanan pengenalan ini berkembang menjadi kesadaran bahwa Yesus adalah seorang nabi (ay. 17). Semakin kuat tekanan kepada orang buta maka semakin dalam ia mengenal Yesus. Ia menegaskan bahwa Yesus bukan orang berdosa (ay. 25, 31). Perkataan orang buta yang celik sangat serius dan asertif karena pemimpin agama menuntut suatu jawaban yang jujur dan tegas karena berada di bawah sumpah. Orang buta juga memberi kesaksian bahwa Yesus didengar oleh Allah (ay. 31).10 Kesaksian orang buta yang celik mengungkapkan bahwa kesembuhan yang dialaminya sebagai perbuatan Allah. Tidak heran jika kemudian ia mendorong pemimpin agama untuk melihat kehadiran Allah di dalam diri Yesus. Orang buta tanpa ragu menegaskan bahwa Yesus datang dari Allah (ay. 33). Tekanan dari pemimpin agama Yahudi mencelikkan mata rohaninya. Semula ia melihat Yesus sebagai manusia, kemudian berkembang menjadi penglihatan bahwa Yesus datang dari Allah. Kesaksian orang buta yang muncul sebagai akibat penolakan pemimpin agama Yahudi membimbingnya kepada penglihatan yang semakin jelas akan siapa Yesus. Ketidak percayaan orang lain membawanya kepada kepercayaan. Perbuatan kesaksiannya yang tegas memiliki akibat serius. Ia dibuang dari sinagoge lokal (ay. 34). Tidak dapat dipastikan apakah pengusiran tersebut hanya bersifat fisik atau berupa pelarangan untuk beribadah di sinagoge.11 Meski dibuang ia tidak sendirian. Yesus mencarinya. Yesus tidak membuangnya. Hanya tinggal selangkah lagi bagi orang buta untuk bergerak dari penglihatan ‘Yesus datang dari Allah’ kepada ‘Yesus adalah Allah’. Ketika bertemu dengannya Yesus mengidentifikasi diri sebagai Anak Manusia12 dan mengundangnya untuk percaya pada-Nya (ay. 35). Terlihat bahwa orang buta tidak siap mengenal Yesus sebagai Anak Manusia. Kebingungannya terungkap melalui pertanyaannya kepada Yesus kai. ti,j evstin( ku,rie( i[na pisteu,sw eivj auvto,nÈ Segera terlihat bahwa percaya berarti memiliki relasi dengan Yesus. Inilah arti percaya dalam Injil Yohanes. Yesus mengundang orang buta yang celik bukan kepada suatu penerimaan doktrin teologi melainkan kepada seorang pribadi. Orang buta memahaminya bahwa yang diperlukan sekarang adalah relasi dengan Anak Manusia. Namun ia perlu mengenal siapa Anak Manusia. Tetapi mengapa Yesus mempergunakan bentuk tidak langsung Anak Manusia? Mengapa tidak langsung saja memperkenalkan diri-Nya? Penggunaan Anak Manusia dalam Injil Yohanes hampir selalu dalam kaitan dengan panggilan untuk percaya. Dengan menggunakan bentuk tidak langsung Anak Manusia segera terungkap perkembangan orang buta dari tidak percaya menjadi percaya dalam Yesus.13 Perjumpaan orang buta yang secara fisik telah celik namun secara rohani masih buta dengan Yesus mengakibatkan matanya terbuka secara fisik dan rohani. Melalui tekanan tetangga dan pemimpin agama Yahudi ia dapat melihat siapa Yesus. Kemudian melalui perjumpaan secara langsung dengan Yesus ia dapat melihat secara rohani siapa Yesus sebenarnya. Pernyataan Yesus dalam 9:41 menunjukkan bahwa kata kerja o`ra,w dalam 9:37 tidak berbicara tentang penglihatan visual melainkan penglihatan iman. Jadi penggunaan istilah ku,rie berkembang dari sekedar sapaan penghormatan dalam ayat 36 menjadi pengakuan keAllahan Yesus dalam ayat 38. Hal ini diperkuat dengan penyembahan orang buta kepada Yesus di depan umum.14 Tentu saja penyembahan demikian sulit diterima orang Yahudi. Jika pemimpin agama Yahudi memberikan reaksi dapat diterima karena penyembahan demikian melanggar monoteisme Yahudi yang menegaskan hanya Allah yang dapat disembah. Apalagi biasanya ibadah Yahudi hanya terbatas di Bait Allah, di sinagoge dan di rumah. Penyembahan orang buta menyatakan secara jelas bahwa Yesus adalah Allah. Mata rohaninya sudah terbuka jelas melihat siapa Yesus sebenarnya sehingga tidak ragu-ragu untuk menyembah Yesus didepan pemimpin agama Yahudi. Orang buta percaya pada Yesus (20:31). Orang buta sudah menyadari bahwa penyembuhannya merupakan pekerjaan Allah seperti yang dinyatakan dalam ayat 3. Tanpa percaya pada Yesus maka penyembuhannya tidak dapat disadari sebagai pekerjaan Allah, hanya sebagai pekerjaan orang yang datang dari Allah. Percaya pada Yesus membuka penglihatan holistis terhadap pekerjaan Allah. Penting juga dicatat satu hal yang sering diabaikan. Perjumpaan orang buta dengan Yesus telah merubah persepsi masyarakat terhadapnya. Yesus telah mengangkatnya menjadi manusia yang bermartabat. Imannya pada Anak Manusia telah menjadikannya kembali sebagai manusia sejati yang utuh. Secara jelas narator melukiskan pergerakan orang buta tersebut dari pengemis menjadi manusia. Dalam ayat 8 orang buta masih disebut sebagai pengemis (prosai,thj). Sejalan dengan peningkatan pemahamannya tentang Yesus, narator juga melaporkan peningkatan pemulihan martabatnya sebagai manusia. Perhatikan bagaimana narator melukiskan peningkatan pemulihan martabat orang buta tersebut: prosai,thj (9:8), to,n pote tuflo,n (9:13), tou/avnable,yantoj (9:18), o]j h=n tuflo,j (9:24), akhirnya o` a;nqrwpoj (9:30). Inilah artinya fanerwqh/| ta. e;rga tou/ qeou/ evn auvtw/| (ay. 3; bandingkan 6:29). Orang buta sekarang matanya celik secara fisik dan rohani. Ia telah percaya pada Yesus dan sebagai akibatnya menjadi seorang manusia yang bermartabat. Kesimpulan Yesus mendemonstrasikan bahwa dikotomi pemberitaan Injil dan perbuatan sosial tidak kompatibel dalam misi-Nya. Yesus memperhatikan kebutuhan manusia secara holistis. Tetapi jelas bahwa Yesus mengutamakan relasi dengan-Nya secara pribadi lebih dari segalanya. Mengalami kesembuhan fisik dari Yesus tidak dengan sendirinya mengalami kesembuhan rohani. Itulah sebabnya Yesus kemudian mencari orang yang telah disembuhkan fisiknya karena Yesus ingin menyembuhkan secara holistis. Hal senada juga merupakan pengamatan Köstenberger bahwa ‘A focus on human service and on human need, though often characteristic of contemporary mission practice, is not presented in the Fourth Gospel as the primary purpose of either Jesus’ or the disciples’ mission’.15 Mungkin sudah saatnya sekarang kata sifat holistis kita singkirkan dari perbendaharaan misi karena misi tidak pernah bersifat fragmentaris. Misi dalam Perjanjian Baru tidak mengenal dikotomi pemberitaan Injil dan perbuatan sosial. Misi dalam Perjanjian Baru selalu bersifat holistis. Catatan Kaki: 1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga kata sifat holistis ‘berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih daripada sekedar kumpulan bagian’. 2. Perlu juga dicatat bahwa pakar hingga kini belum mencapai suatu konsensus tentang arti misi.
Diskusi berbagai rumusan-rumusan misi dapat dilihat, misalnya, dalam David J. Bosch, ‘Evangelism: Theological Currents and Cross-currents Today’, International Bulletin of Missionary Research 11 (1987), hlm. 98-103. 3 Tentang penelitian naratif lihat Armand Barus, ‘Analisis Naratif: Apa dan Bagaimana’, Forum Biblika 9 (1999), hlm. 48-60. 4. Kata avsqe,neia dapat berarti lemah atau penyakit. Lihat G. Stählin, ‘avsqenh,j’,’ TDNT 1: 490-493. 5. Stephen Motyer, Your Father the Devil? (Carlisle: Paternoster, 1997), 123 n. 1, memberikan bukti bahwa orang lumpuh diasingkan masyarakat. 6. Lih. U. Luck, ‘u`gih.j ktl’, TDNT 8: 308-313. 7. Kata kerja a`ma,rtane dalam bentuk imperatif kala kini (janganlah lagi berdosa). 8. Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to John 2 (Kent: Burns & Oates, 1980), hlm. 97-98, memberi komentar: ‘The man is healed and at the same time forgiven by God for his sin’. 9. Untuk kesejajaran lainnya lihat R. Alan Culpepper, Anatomy of the Fourth Gospel (Philadelphia: Fortress, 1983), hlm. 139-140. Juga J. L. Staley, ‘Stumbling in the Dark, Reaching for the Light: Reading Character in John 5 and 9’, Semeia 53 (1991), hlm. 64-65. 10. Thomas L. Brodie, The Gospel According to John (Oxford: OUP, 1993), hlm. 351, memberikan bukti bahwa kata sifat qaumasto,j (9:30) di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hampir selalu dipergunakan untuk menunjuk pada Allah atau pada manifestasi Allah. 11. Sinagoge tidak hanya menunjuk pada gedung tetapi juga perkumpulan orang Yahudi untuk keperluan religius, sosial dan ekonomi. Menurut Lukas sinagoge menunjuk pada gedung (Luk. 7:5; Kis. 18:7) dan perkumpulan (Kis. 6:9; 13:43). 12. UBS4 berpendapat bahwa kata avnqrw,pou (9:35) sebagai bacaan asli. Perubahan demikian menunjukkan bahwa penyalin teks berpendapat bahwa pernyataan dan penyembahan orang buta menunjuk pada keAllahan Yesus. Inilah alasan mengapa mereka merubah teks avnqrw,pou dengan kata qeou/. Lihat juga Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament (Stuttgart: UBS, 2000), hlm. 194. 13. Untuk alasan lain lih. Schnackenburg, John 2, hlm. 253; Herman N. Ridderbos, The Gospel according to John (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), hlm. 349-350; Rudolf Bultmann, The Gospel of John (Philadelphia: Westminster, 1971), hlm. 338. 14. Raymond E. Brown, The Gospel According to John 1 (New York: Doubleday, 1970), hlm. 376, memberi komentar: ‘This is the standard Old Testament reaction to a theophany’. 15. Andreas J. Köstenberger, The Missions of Jesus and the Disciples according to the Fourth Gospel (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), hlm. 215. Profil Pdt. Dr. Armand Barus: Pdt. Ir. Armand Barus, Ph.D. adalah Puket I Akademis sekaligus dosen di STT Cipanas dan dosen Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau meraih gelar Insinyur (Ir.) dari Universitas Sumatera Selatan; M.Div. dan Master of Theology (M.Th.) dari Trinity Theological College; dan Ph.D. dari King’s College, University of Aberdeen, U.K. Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio “Mengenal kehendak Allah bukanlah proses menerima informasi langsung dari Allah tentang persoalan hidup, tetapi proses mengenali persoalan hidup berdasarkan wahyu yang telah diberikan Allah kepada kita.” (Rev. Prof. Gary T. Meadors, Th.D., Decision Making God’s Way, hlm. 185)