Halaman

16 Februari 2012

Obrolan Ringan Tentang Creatio Ex Nihilo

   Apa yang dimaksud dengan Creatio ex nihilo?
Kitab Kejadian pasal 1 :1-2 yang berbunyi  “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudra raya, dan Roh Allah melayang- layang di atas permukaan air…”  adalah awal penciptaan Allah akan adanya bumi beserta seluruh isinya.  Ayat ini sering disebut- sebut sebagai Creatio ex nihilo.
            Creatio  diterjemahkan ke dalam bahasa inggris ‘Creation’ adalah penciptaan, kreasi  sedangkan ex nihilo lebih diartikan sebagai sesuatu ketiadaan. Dari terjemahan ini istillah creatio ex nihilo dapat diartikan suatu kreasi atau penciptaan dari suatu ketiadaan.
            Yonky Karman dalam bukunya mengatakan creatio ex nihilo dalam kaitannya dengan teologi penciptaan adalah kemampuan Allah menciptakan dunia dari tidak ada apa- apa. Creation ex nihilo ini dihubungkan dengan doktrin penciptaan Allah pada masa awal pembentukan dunia.

Mengapa istilah creation ex nihilo digunakan dalam alkitab untuk membahas tentang  
   penciptaan? 

            Secara gamblang Akitab menjelaskan usaha Allah menciptakan bumi. Namun banyak buku mengatakan Allah menciptakan segalanya dipermukaan bumi ini dengan suatu usaha yang bersifat supernatural. Dengan demikian,  dunia ini tercipta melalui suatu cara yang sama sekali berbeda dari apa yang dilihat. John C. Whitcomb memaparkan dalam bukunya yang berjudul Bumi Yang Semula (1992), bahwa sekarang ini mutlak tak ada yang diciptakan langsung selain dari bahan- bahan yang sudah ada sebelumnya, dan para ilmuan menyatakan kebenaran dasar ini menurut  hukum pertama termodinamika (yaitu : energy tak dapat diciptakan maupun dimusnahkan). Penciptaan yang murni tak dapat lagi dicapai seperti pada pernyataan yang jelas dalam alkitab (Kej 2:1-3). Jadi ketika Allah mmenciptakan langit dan bumi, laut beserta segala isinya, Ia melakukannya tanpa bahan-bahan “pra- ada” (preexistent materials) dimanapun. Maka dalam sekejap langit dan bumi terbentang menjadi ada. Para ahli teolog menyebut hal ini adalah Creatio Ex Nihilo yang berarti suatu penciptaan yang bermula dari kehampaan. Berangkat dari pemahaman inilah creatio ex nihilo dijadikan suatu doktrin berkaitan dengan proses penciptaan Allah dan telah digunakan untuk membahas tentang penciptaan. 

   Bukti bahwa penciptaan dalam alkitab adalah Creatio ex nihilo?
Creatio ex nihilo yang dimaksudkan adalah sebuah penciptaan yang berfokus pada kemahakuasaan Allah yang mampu menciptakan dunia dari tidak ada apa- apa. Yonky Karman menjelaskan dalam bukunya bahwa bara (bahasa ibrani : ‘menciptakan’) sebagai kata kerja ibrani yang mendukung pemahaman creatio ex nihilo. Bara muncul sebanyak 48 kali dalam seluruh PL dengan subjek selalu merujuk kepada Allah. Akar  kata ini menunjukan unsur kebaruan tindakan Allah untuk mencipta. Tindakan Allah ini adalah sesuatu yang murni tanpa tandingan.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, unsur preexsistent materials (Kej 1:1-2) yang mencoba membantu pemahaman teologi penciptaan dari suatu kehampaan (creatio ex nihilo). Ungkapan seperti inilah membantu jika kita memahaminya dalam arti bahwa wujud- wujud fisik diciptakan dari sumber- sumber yang non fisik dari kemahakuasaan Allah. hal ini dapat dilihat pada Kej 20 :11; bandingkan dengan 31:17; Nehemia 9:6.  Dari perbandingan ini terlihat Allah adalah Allah  yang memiliki kemampuan supernatural dan kuasa kendali yang mampu menciptakan  yang belum pernah terjadi.

Apakah penciptaan manusia adalah creatio ex nihilo? Buktikan!
Mengikuti pendekatan umum dari pasal- pasal awal kejadian, beberapa ilmuan Kristen telah menganut  pandangan bahwa tubuh adam hanyalah semacam tubuh binatang yang dengan mujur telah berevolusi menjadi mahluk berkaki dua melalui jutaan tahun dari perubahan yang berangsur- angsur sampai Allah menaruhkan ke dalamnya suatu jiwa yang kekal beberapa ratus ribu tahun yang lalu. Bagi mereka yang bersedia untuk mencari kitab- kitab suci dan percaya apa yang akan dikatakan oleh buku- buku dan para ilmuan tersebut, tak ada yang lebih jelas dari kenyataan bahwa Allah menciptakan tubuh adam langsung dengan keadaan terpisah dengan material pemakaian binatang sebelumnya.
Berbeda dengan banyak pendapat yang telah dipaparkan dalam paragraph sebelumya, Christoph Barth dalam bukunya mengatakan bahwa manusia telah Allah jadikan sendiri dari debu tanah (adam dan adamah, kata ibrani untuk tanah; Kej 2;7; Pkh 3:20; Mazmur 89:48) pada hari penciptaan yang keenam, sama dengan binatang sehingga ia bertubuh.  Manusia bukanlah mahluk yang tidak ‘mempunyai’ tubuh atau daging; ia sendirilah tubuh dan daging itu. Christoph Barth dalam bukunya mengutip pernyataan    S. Mcfague bahwa manusia dan alam terdiri atas zat kimia yang sama dan  dibuat dari abu- abu binatang- binatang.  Dari pemahaman inilah muncul suatu pengertian bahwa manusia bergantung seutuhnya terhadap binatang serta tumbuh- tumbuhan. Dengan demikian dalam kerendahannya inilah manusia bergantung semata- mata pada kemurahan Allah yang dipenuhi berkat dan kelimpahannya. 
John C Witchomb membuktikan dalam bukunya bahwa penciptaan manusia dalam Alkitab berasal dari debu. Debu dalam proses pernyataan ini diartikan sunguh- sungguh secara harafiah. Dua hal yang menarik yang dikatakannya adalah jika manusia diciptakan berasal dari debu dan tanah darimana adam diambil (1) semak dan duri akan dihasilkannya, dan (2)  adam akan kembali ke debu. Maka, jika ‘debu dan tanah’ merupakan symbol dari kerajaan binatang didalam kej 2:7, apakah arti sesungguhnya? Apakah teks bacaan ini berarti bahwa binatang- binatang menghasilkan semak duri dan rumput duri sebagai akibat dari kutukan? Dan apakah itu berarti bahwa adam akan kembali dengan kerajaan binatang ketika ia mati? Bagi mereka yang percaya reinkarnasi mungkin memihak kepada gagasan tersebut, namun seorang evolusionis teistik kemungkinan besar tidak ingin memakainya sebagai teks bukti untuk  konsep ‘debu yang hidup’. Jadi menurut pendapat John.C Witchomb hukum penafsiran konteks menuntut bahwa ‘debu dari tanah’ dalam kej 2:7 diinterpretasikan secara harafiah atau benda sesungguhnya, dan dipisahkan sama sekali dari kemungkinan seekor binatang nenek moyang untuk manusia.  
Beberapa pendapat diatas mengenai  penciptaan manusia dapat ditarik kesimpulan bedasarkan pemahaman serta penafsiran Alkitab bahwa sesungguhnya adam dan hawa diciptakan karena unsur supernatural Allah. Manusia bukanlah hasil evolusi dari kerajaan binatang atau sejenisnya. Manusia diciptakan melalui sarana fisik dan unsur keilahian Allah (bukanlah creatio ex nihilo) dan  bukan hanya secara rohaniah.

Krisis Ekologi & Kepemimpinan Kristen: Pemimpin Yang Tidak Tahu Diri (Menganggap Diri Berhak) Dan Rakus Adalah Sumber Masalah Ekologi

Tanggal 5 Juni adalah Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day (WED). Dalam kolom Opini harian Kompas terbitan Kamis, 5 Juni 2008 (halaman 6), Marison Guciano menyuguhkan tulisan berjudul "Ecocide!" (pemusnahan massal lingkungan atau ekosistem sebagai sumber-sumber kehidupan). Penulis memaparkan terungkapnya proses alih fungsi hutan lindung di Bintan oleh anggota DPR dengan disetujui pejabat negara yang berwenang yang tentu saja ada uang suapnya. Sumber perusakan lingkungan di sini jelas adalah "hati" para pimpinan tinggi negara, sebagai penentu "nasib masa depan" negara, yang "serakah", "egois", "licik", "mengambil peluang penggunaan wewenang yang menguntungkan dirinya". Akibatnya, tentu ekosistem lingkungan rusak dan rakyat kecil akan menerima dampak kerusakan itu, sehingga mereka menjadi bertambah miskin dan tidak bisa hidup layak dan sehat sebagai manusia.
Kompas, Jumat, 6 Juni 2008, dalam halaman Humaniora-Fenomena (hal. 14), mengangkat tulisan mengenai lingkungan hidup dengan judul "Perlu Kelola Perilaku". Tulisan ini memaparkan bahwa lingkungan memiliki kemampuan melumat "limbah" sehingga alam tetap bersih dan tercapai keseimbangannya. Namun, karena tekanan manusia, daya alam itu melemah, bahkan menghilang. Perlu campur tangan manusia untuk mengatasi pencemaran akibat ulah sendiri tersebut. Penanggulangan ini harus dimulai dengan membenahi perilaku pemerintah dan warganya. Upaya mengubah perilaku atau kebiasaan bukan perkara mudah dan cepat. Dalam terbitan yang sama, di rubrik Metropolitan (hal. 26) tertulis berita mengenai kualitas air dengan judul "Empat Sungai di Bekasi Tercemar", di mana sungai-sungai tersebut tercemar oleh logam dan bakteri berbahaya sebagai akibat pembuangan limbah industri yang tidak diolah. Ironisnya, air sungai tersebut merupakan bahan baku air minum di Bekasi dan Jakarta yang jel as tidak memenuhi syarat air minum warga. Perusakan lingkungan di sini jelas disebabkan oleh hati manusia yang "tidak memiliki perasaan, tidak peduli, tidak malu karena tidak tahu malu dan tidak punya malu yang tidak mau tahu apa saja akibat yang akan diterima oleh sesamanya".
Dalam Kompas, Sabtu, 7 Juni 2008, di halaman Bisnis & Keuangan (hal. 21), tertuang hal penting yang terkait dengan pertanian yang berjudul "Menyelamatkan Waduk, Menolong Kehidupan ...". Paparan ini adalah salah satu dari hal yang diulas Kompas, Kamis, 12 Juni 2008 di halaman 16, dengan judul "Ahim & Zaenal, Raksabumi (penjaga hutan) di Neglasari" (kampung yang berbatasan dengan Gunung Simpang di Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Penulis menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi di Indonesia bisa dikatakan sebagai buah keserakahan manusia yang mengambil hasil hutan secara tidak terkendali. Tak heran kalau cagar alam Gunung Simpang seluas 15.428 hektar dengan pohon-pohon yang besar sangat menggoda sebagian orang untuk memanfaatkannya secara berlebihan. Dalam tulisan tersebut, Ahim mengatakan bahwa selama hutan terjaga dan tidak dirusak oleh siapa pun, air irigasi akan mengalir sepanjang musim (catatan: padi bisa ditanam tiga kali dalam setahu n yang merupakan produk sawah irigasi di wilayah ini). Air untuk kebutuhan rumah tangga juga akan tersedia kapan pun. Listrik akan terus menyala, tak pernah putus (catatan: air dari hutan digunakan untuk menggerakkan kincir yang memutar dinamo sehingga dihasilkan energi listrik). Di sini jelas tertulis bahwa sumber perusakan lingkungan hidup adalah "keserakahan atau kerakusan hati manusia".
Dari paparan sebelumnya menjadi jelas bahwa "hati dari manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah" adalah sumber perusak lingkungan hidup bumi ciptaan Tuhan ini. Kita akan membahas tema "Krisis Ekologi dan Kepemimpinan Kristen" mulai dari Kejadian 1 mengenai penciptaan alam semesta yang menjadi tempat untuk kebutuhan hidup umat manusia.
PEMBAHASAN
Kejadian 1:24-30
1. Alam dan isinya diciptakan dahulu sebelum manusia dengan tujuan menyediakan kebutuhan hidup manusia. Berarti, memang Tuhan memakai alam dengan segala isinya agar menjadi sumber hidup dan kelangsungan hidup manusia sehingga jika merusakkannya, manusia akan tahu sendiri akibat yang harus ditanggungnya.
2. Dalam Kejadian 1:26-29, Tuhan berfirman: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.
Dari paparan ayat-ayat tersebut jelas bahwa kita tidak bisa menafsir "beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi ..." lepas dari konteks maksud Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambar-Nya. Begitu juga perintah "berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi".
Maksud Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya adalah agar ketika melaksanakan mandat untuk berkembang biak dan menguasai ciptaan Tuhan di alam ini, manusia bisa menghadirkan pemerintahan Allah di bumi ini. Seluruh alam berasaskan karakter Allah. Karakter Allah, antara lain kasih, kesucian, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan ketegasan semuanya adalah unsur-unsur karakter Allah yang dapat dipilah dan dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena semua karakter itu ada dalam satu kesatuan. Begitu juga dengan pengasihan, berkat, kemurahan, kesabaran, pemberian kesempatan, pengampunan, dan anugerah adalah bagian dari karakter kasih Allah. Sedangkan murka Allah adalah ungkapan ketegasan karakter kesucian, keadilan, kebenaran, dan ketertiban Allah.
Murka sebagai ungkapan ketegasan karakter Allah ini bisa terlihat pada diri siapa saja, kapan saja, di mana saja, baik pribadi, kelompok keluarga, kelompok umat, atau pun kelompok seluruh umat manusia yang telah melakukan kejahatan terhadap sesama, termasuk kejahatan pada lingkungan hidup, yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Jika manusia mau memiliki anak, ia harus dapat memelihara anaknya tersebut dengan memberi makanan, minuman yang cukup dan menyehatkan. Oleh karenanya manusia harus berpikir: kalau anak banyak, apakah ia sanggup memberikan kebutuhan hidup dasar yang cukup kepada anaknya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang bermartabat.
Kalau anak banyak, jelas membutuhkan makanan dan minuman yang juga banyak. Pasti makanan dan minuman yang dibutuhkan manusia akan diperebutkan dan menjadi pemicu keributan antarsesama umat manusia. Siapa yang salah? Lihat saja catatan pertengkaran antara gembala Lot dengan gembala Abram. Kelihatan sekali Lot sangat menekankan haknya, padahal dia adalah keponakan Abram yang dipelihara oleh Abram sejak kecil. Bersamaan dengan itu, kelihatan juga hatinya yang rakus atau tamak. Buktinya dia mau tinggal di kota Sodom yang perdagangannya memang sangat menguntungkan. Peristiwa tersebut terjadi pada saat tanah yang menjadi sumber hidup masih luas (Kej. 13:1-18). Apalagi sekarang ini. Tentu tidak terbayangkan. Kebutuhan makanan dan minuman, termasuk kebutuhan hidup ternak peliharaannya, tentu berasal dari tanah yang subur, dan makin hari akan makin dibutuhkan tanah yang makin luas. Jumlah orang yang bertambah juga tentu membutuhkan tempat tinggal yang lebih banyak d an dengan sendirinya membutuh tanah yang lebih luas. Padahal, untuk kebutuhan makanan dan minuman yang lebih banyak, tentu membutuhkan lahan untuk menanam tumbuh-tumbuhan yang terkait.
Jadi jelas bahwa, baik manusia untuk beranak cucu atau menguasai alam bumi yang menjadi sumber makanan kelangsungan hidup manusia, benar-benar harus dikelola dengan menghadirkan pemerintahan Allah yang berasaskan karakter-Nya yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Berarti perintah "taklukkan dan kuasai alam dengan ciptaan Tuhan lainnya" tentu harus dilakukan dengan tertib, baik mengatur, memelihara kelangsungan hidupnya, maupun mengendalikan; bukan semau manusia. Juga bukan dengan cara eksploitasi.
Kalau semua ini dilakukan manusia dengan taat pada maksud Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, maka tidak akan terjadi sebagaimana yang terjadi di seluruh dunia saat ini. Tentu sejumlah bencana alam yang terjadi memang adalah dari alam ini sendiri, seperti tsunami, gempa, dan gunung meletus. Tetapi lapisan ozon rusak, es Kutub Utara mencair, polusi berat di udara, tanah, dan air, serdta banjir dan longsor akibat hutan yang gundul adalah bencana yang terjadi akibat ulah manusia sendiri.
Mari sekarang kita membahas sumber pemicu persoalan manusia,termasuk perusakan ekosistem alam bumi ciptaan Tuhan ini.
Kejadian 3:1-24
Dari kejatuhan manusia mula-mula sudah kelihatan bahwa manusia itu menekankan pemakaian haknya dan tamak akan segala hal, termasuk kekuasaan. Jadi, pada sikap dan tindakan manusia mula-mula itu sudah terlihat jelas bahwa mereka lebih suka mengikuti saran Setan yang memanfaatkan nafsu kedagingannya daripada menuruti perintah Tuhan. Sudah digambarkan Paulus di Roma 1:29, kita adalah keturunannya yang harus sadar akan kelemahan kita sebagai manusia ini. Paulus, sebagai seorang rasul, justru telah dengan jujur mengakui di Roma 7: 18 bahwa "di dalam diri dia sebagai manusia, tidak ada yang baik". Kalau kita tidak mau mengakui ini, maka umat manusia dengan alamnya akan semakin hancur dan musnah. Jangan lupa, kebinasaan kekal menanti manusia yang tidak mau jujur mengakui kelemahannya dan mengakui dirinya tidak sanggup untuk mengatasinya. Mari kita mohon kemurahan dan pengasihan Allah Bapa melalui Yesus Kristus yang telah mengutus Roh Kudus untuk memberi dukungan d an kekuatan kepada manusia untuk menghadapi kedagingannya sampai akhir hayatnya.
Markus 7:21
Isi yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus dalam Markus 7:21, segala pikiran jahat (yang terkait dengan tema, yang di antaranya adalah pencurian, keserakahan, kejahatan, kelicikan dan tipu muslihat, jelas adalah sumber masalah kehidupan pribadi, kelompok, masyarakat dan lingkungan alam bumi. Istilah keserakahan tidak terdapat dalam Matius 15:19; kata yang ada adalah pencurian yang sumbernya jelas dari keserakahan. Rasul Paulus, dalam Galatia 5:17-21, menggunakan istilah "keinginan daging" untuk menggantikan istilah "hati". Hal-hal yang dikemukakan Rasul Paulus adalah "kepentingan diri sendiri", "pesta pora" (berkonotasi pada gaya hidup boros dan konsumtif tak terkendali).
Siapa yang dinyatakan rakus, tamak, dan serakah? Rakus berarti merampas/mengambil sesuatu dengan kasar dan paksa yang bukan haknya. Kalau kita membaca Matius 23:25, maka yang rakus itu justru adalah para rohaniwan dan tokoh agama, yaitu para ahli Taurat dan orang Farisi. Wah, ini betul-betul harus menjadi peringatan keras dan serius bagi seluruh pimpinan Kristen.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Tuhan Yesus Kristus dalam Lukas 12:15 mengingatkan para murid-Nya agar waspada terhadap ketamakan. Orang yang serakah pasti mewujudkannya dengan memperdayakan objek yang menjadi sasaran aktualisasi ketamakannya, baik pada manusia maupun terhadap alam (1 Tes. 4:6). Orang tamak pasti juga kikir untuk berbuat baik dalam ketulusan (1 Kor. 5:10, 11; 6:10; Mat. 25:31-46).
Dari paparan Tuhan ini, tersimak bahwa tidak mungkin kita akan bisa memberi sesama yang sangat membutuhkan air dan makanan tanpa didapat dari air bersih dari alam untuk dikonsumsi secara aman dan sehat. Dengan kata lain, khususnya untuk era sekarang, sebelum kita menyediakan air layak minum, maka ekosistem lingkungan bumi alam ini harus kita pulihkan, jaga, dan pelihara kelangsungan keberadaannya dahulu, sehingga dapat menjadi sumber hidup seluruh umat manusia. Saya berseru: "Mari para calon pimpinan Kristen, kita sadar, kita peka, dan kita wujudkan maksud Tuhan di alam ini!"

posting ulang:
Submitted by admin on Wed, 25/11/2009 - 13:00. Tags



07 Februari 2012

Pengertian Misi




Cara kita memikirkan tugas san gatlah memengaruhi cara yang kita gunakan untuk menyelesaikannya. Dalam bukunya, "Planning Strategies for World Evangelization", Edward R. Dayton dan David A. Fraser menulis sepuluh langkah yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan perencanaan strategi penginjilan.
Kesepuluh langkah itu ialah: (1) tentukan misi yang akan dilakukan; (2) tentukan orang-orang yang akan dijadikan sasaran; (3) tentukan tenaga yang akan dipakai untuk penginjilan; (4) telitilah sarana dan metode penginjilan yang akan digunakan; (5) tetapkan pendekatan yang akan dipakai; (6) perhitungkan hasil-hasil yang diharapkan; (7) lakukan pembagian tugas; (8) buatlah rencana; (9) bertindaklah; dan (10) adakan evaluasi.
Perhatikan, langkah pertama adalah menentukan misi yang akan dilakukan. Di antara para penginjil dan misionaris maupun pekerja Kristen, terdapat banyak orang yang aktif. Mereka ingin langsung menggunakan langkah Dayton dan Fraser yang ke-9. Sikap seperti ini patut dihargai. Tanpa para aktivis yang bersemangat dan kurang sabar seperti mereka itu, pekerjaan Tuhan tidak akan pernah terselesaikan. Tetapi segala sesuatu yang kita kerjakan haruslah kita pikirkan terlebih dahulu, berpikir dan bekerja merupakan dua hal yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
Bahkan para pemain sepakbola yang sangat aktif pun memikirkan lebih dahulu strategi yang akan mereka pakai sebelum mereka terjun ke lapangan untuk bertanding. Membuat rencana permainan terlebih dahulu tidak akan mengurangi semangat dan kegiatan mereka dalam pertandingan, tetapi menjadikannya lebih terkontrol. Prinsip yang sama juga berlaku untuk perkembangan gereja. Karena itulah kita perlu benar-benar memahami maksud dari misi yang akan kita lakukan. Hal itu merupakan bagian yang penting dari perencanaan strategi perkembangan gereja.

Kerajaan Allah dan Misi
Seperti halnya dengan orang-orang injili lainnya, kita harus mempercayai bahwa Kerajaan Allah merupakan suatu janji yang akan digenapi di masa yang akan datang bersamaan dengan kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya. Akan tetapi, selama 20 tahun belakangan ini, sudah terjadi perubahan dalam pandangan orang-orang injili. Berbeda dengan masa-masa yang lalu, kini Kerajaan Allah itu tidak saja dipandang sebagai suatu janji untuk masa yang akan datang, melainkan juga sebagai suatu realitas di masa sekarang ini. Pandangan ini sudah semakin menonjol.
Yesus mengajarkan bahwa konsep waktu dapat dibagi menjadi "waktu di dunia ini" dan "waktu di dunia yang akan datang" (Matius 12:32). Rasul Paulus menyatakan bahwa Yesus jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa "bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang" (Efesus 1:21). Kedua masa itu dipisahkan oleh kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Pada saat Yesus datang kembali dan mengantar dunia masuk ke masa yang akan datang, pada saat itulah Kerajaan Allah datang dalam kesempurnaannya. Langit akan lenyap, unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2 Petrus 3:10). Yerusalem Baru akan didirikan, Allah akan memerintah dengan berkuasa, dan semua orang yang ada di Yerusalem Baru akan mengakui-Nya sebagai Raja dan akan mematuhi-Nya. Inilah realitas yang akan datang dari Kerajaan Allah itu.
Tetapi kita tidak perlu menunggu sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya untuk dapat merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah. Kerajaan Allah dinyatakan dalam dunia ini ketika Yesus datang untuk pertama kalinya. Yohanes Pembaptis telah memberitakan di Padang Gurun Yudea, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius 3:2). Dengan pemberitaannya itu, Yohanes Pembaptis sedang menyiapkan jalan untuk Tuhan. Juga ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, berita yang disampaikannya adalah: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius 4:17). Ketika Yesus mengutus dua belas rasul dan kemudian tujuh puluh orang murid-Nya, Ia menyuruh mereka untuk memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Kitab Kisah Para Rasul menjelaskan bagaimana para rasul memberitakan Kerajaan Allah tersebut. Beberapa surat kiriman menyebutkan tentang Kerajaan Allah. Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Kolose bahwa Allah "telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih" (Kolose 1:13).
Tidak seperti di Yerusalem Baru, di masa sekarang ini "kuasa kegelapan" -- demikian Paulus menyebutnya -- dan Kerajaan Allah sama-sama ada di dunia. Hal inilah yang menyebabkan misi itu diperlukan. Allah mengutus kita untuk melakukan misi kristiani ini. Ia mengutus kita sebagai duta-duta Kerajaan-Nya pada dunia yang masih berada di bawah kuasa si jahat. Sebagai akibatnya, terjadi pertentangan antara Iblis dan semua pasukannya melawan Allah dan segala pasukan-Nya. Ini merupakan ciri penentu dari misi. Yesus berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Matius 12:28). George Ladd mengatakan bahwa hal ini merupakan "teologi pokok Kerajaan Allah".
Pada jalan yang menuju ke Damsyik, Rasul Paulus dipanggil Yesus untuk melayani orang-orang bukan Yahudi. Pekerjaan yang akan dilakukannya setelah menerima panggilan itu digambarkan sebagai suatu serangan terhadap kerajaan yang dikuasai oleh Iblis. Rasul Paulus diutus "untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah" (Kisah Para Rasul 26:18). Iblis adalah "ilah zaman ini" (2 Korintus 4:4). Kekuasaannya ditunjukkan pada saat Yesus menghadapi pencobaan. Iblis memperlihatkan semua kerajaan dunia kepada Yesus dan berkata kepada-Nya, "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku" (Matius 4:9). Iblis hanya dapat melakukan hal itu jika semua kerajaan dunia itu adalah miliknya. Iblis sendiri mengatakan bahwa semuanya itu adalah miliknya, "Semuanya itu telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki" (Lukas 4:6). Rasul Yohanes juga menguatkan hal ini dengan mengatakan bahwa "seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat" (1 Yohanes 5:19).
Inti Amanat Agung Yesus adalah untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Dipandang dari pengertian tentang Kerajaan Allah, semakin bertambahnya orang-orang yang menjadi murid Yesus Kristus, berarti semakin berkurangnya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan setan. Karena itulah Iblis, musuh jiwa kita, dengan keras berusaha menentang usaha-usaha penjangkauan jiwa, penginjilan, maupun perkembangan gereja. Rasul Paulus mengatakan bahwa penolakan terhadap Injil itu disebabkan secara langsung oleh ulah Iblis, "Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah" (2 Korintus 4:3-4). Dalam konteks Kerajaan Allah, misi merupakan suatu usaha yang penuh risiko dalam peperangan rohani.

Misi Memerlukan Pelayanan yang Holistik
Yesus mengajarkan kita untuk berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Matius 6:10). Hal ini berarti kita sebagai wakil-wakil Tuhan di dunia, harus mencerminkan nilai-nilai kerajaan-Nya dalam kehidupan maupun dalam pelayanan kita. Hal ini tidaklah berarti bahwa kita sendiri yang akan mendatangkan Kerajaabn yang akan datang atau Yerusalem Baru ke dunia melalui usaha kita. Hanya Allah yang dapat melakukannya melalui intervensi adikodrati. Yerusalem Baru hanya akan datang setelah Iblis dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang untuk selama-lamanya (Wahyu 20:10). Sementara itu, kita yang benar-benar menjadi warga negara Kerajaan Allah, masih harus tinggal di dalam dunia yang dikuasai oleh si jahat.
Ada beberapa sifat dari Kerajaan Allah yang akan datang, yang harus nampak dalam kehidupan kita maupun gereja-gereja sekarang ini. Antara lain, tak seorang pun di Yerusalem Baru itu yang terhilang, "Mereka akan menjadi umat-Nya" (Wahyu 21:3). Selanjutnya, "Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau dukacita" (Wahyu 21:4). Kejahatan yang kita lihat di dunia ini, yang dinyatakan dalam sakit penyakit, kemiskinan, penindasan, pemerasan, kerasukan setan, perbuatan dursila, maupun pembunuhan, akan diperangi secara gigih di dalam nama Yesus.
Ketika Yesus mengutus kedua belas murid-Nya, Ia menyuruh mereka mengerjakan hal-hal yang telah dilakukan-Nya. "Pergilah dan beritakanlah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan" (Matius 10:7-8). Inilah yang dimaksudkan dengan pelayanan yang holistik. Pelayanan ini bertujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia seutuhnya. Pelayanan ini tidak hanya berusaha menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka sekarang ini, karena kita diutus Allah untuk melakukan hal-hal tersebut, maka inilah maksud misi yang sebenarnya.
Dua Amanat
Jika kita meneliti misi holistik itu dengan lebih saksama, akan nampaklah bahwa pelayanan ini terdiri dari dua amanat: amanat budaya dan amanat penginjilan. (Kedua istilah ini diperkenalkan oleh Arthur Glasser.)
Amanat Budaya
Amanat budaya dalam pelayanan, yang oleh sebagian orang disebut sebagai tanggung jawab sosial orang Kristen, bermula di Taman Eden.

Setelah Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia berfirman kepada mereka, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kejadian 1:28). Sebagai umat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, kita bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan ciptaan Allah.
Dalam Perjanjian Baru dijelaskan bahwa kita harus mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pengertian tentang sesama manusia, seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, tidak terbatas hanya pada orang-orang sesuku atau sekelompok budaya atau pun seagama, melainkan semua orang. Berbuat baik kepada orang lain, baik kepada seseorang atau pun kepada masyarakat secara keseluruhan, adalah suatu kewajiban yang sesuai dengan ajaran Alkitab dan merupakan amanat budaya yang diberikan Allah kepada kita.
Amanat Penginjilan
Amanat penginjilan juga bermula di Taman Eden. Selama beberapa waktu, setiap kali Allah pergi ke Taman Eden, Adam dan Hawa telah menunggu kedatangan-Nya, dan mereka memunyai persekutuan yang indah dengan Tuhan. Tetapi dosa telah merusak keadaan itu. Di Taman Eden inilah Iblis memperoleh kemenangannya yang cukup berarti untuk pertama kalinya. Kali berikutnya Allah pergi ke taman itu, Ia tidak lagi menjumpai Adam dan Hawa. Persekutuan itu telah putus. Dosa telah memisahkan umat manusia dari Allah. Menghadapi keadaan itu, Allah menampakkan sifat-Nya melalui kata-kata-Nya kepada Adam yang berupa sebuah pertanyaan, "Di manakah engkau?" (Kejadian 3:9). Ia segera mulai mencari Adam.
Amanat penginjilan itu menampakkan keinginan Allah untuk bersekutu dengan manusia. Itu berisi suatu perintah untuk mencari dan mendapatkan kembali orang-orang yang terhilang, yang dipisahkan dari Allah oleh dosa. Roma 10 menjelaskan kepada kita bahwa barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan. Tetapi mereka tidak akan dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya kepada-Nya dan mereka tidak dapat percaya kepada-Nya jika mereka tidak pernah mendengar tentang Dia. Dan mereka tidak dapat mendengar tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya. "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" (Roma 10:15). Membawa berita Injil yang dapat memindahkan orang-orang dari kegelapan kepada terang berarti telah melaksanakan amanat penginjilan itu. Inilah yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengutus murid-murid-Nya untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Matius 28:19). Inilah Amanat Agung.
Satu Misi, Dua Bagian
Baik pelayanan sosial Kristen maupun pemberita Injil merupakan bagian-bagian yang penting dari misi alkitabiah. Istilah "amanat" menunjukkan bahwa kedua hal itu merupakan perintah-perintah yang harus dilakukan. Di kalangan injili telah tumbuh suatu kesepakatan bersama mengenai hal ini.
Timbulnya kesepakatan ini belum lama. Sebelum dasawarsa 1960-an, sebagian besar dari aliran injili menyamakan misi dengan amanat penginjilan. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka mengabaikan kebutuhan-kebutuhan sosial atau material. Mereka selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial orang-orang yang mereka layani. Akan tetapi, meskipun kegiatan ini dianggap sebagai suatu sarana dalam melakukan penginjilan atau sebagai buah keselamatan, ia tidak dianggap sebagai bagian dari misi itu sendiri.
Pada Kongres Internasional di Berlin tentang Perkabaran Injil (Berlin World Congress on Evangelism) yang diadakan pada tahun 1966 dan disponsori oleh Asosiasi Penginjilan Billy Graham (Billy Graham Evangelistic Association) dan majalah Christianity Today, amanat budaya itu tidak disebut-sebut sama sekali. Dalam kongres itu, John R.W. Stott -- yang dikenal luas sebagai jurubicara utama dari kalangan injili -- mengatakan, "Tugas gereja bukanlah untuk memperbaiki masyarakat, melainkan untuk memberitakan Injil." Dalam analisanya tentang kecenderungan-kecenderungan yang ada, Arthur Johnson menyimpulkan bahwa Kongres Berlin itu "berpegang teguh pada keyakinan bahwa misi gereja adalah pemberitaan Injil".
Seorang tokoh injili yang pertama-tama menekankan pentingnya amanat budaya di hadapan umum adalah Horace Fenton dari "Latin America Mission". Pada Kongres Wheaton tentang Misi Gereja di Seluruh Dunia yang juga diadakan pada tahun 1966, Horace Fenton -- dalam ceramahnya yang berjudul "Misi dan Permasalahan Sosial" berpendapat bahwa dalam mendefinisikan misi gereja, pemisahan kedua amanat itu tidaklah sesuai dengan Alkitab. (Catatan: Fenton sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah amanat budaya dan amanat penginjilan.)
Fenton termasuk di antara orang-orang pertama yang menyadari bahwa amanat budaya itu merupakan bagian yang tak terpisahkan -- dari misi itu sendiri. Tetapi kemudian para penginjil lainnya mulai mengikuti jejaknya ketika diadakan Kongres Internasional tentang Penginjilan Dunia yang berlangsung tahun 1974 di Lausanne, Swiss. Dalam Kongres Lausanne tersebut, amanat budaya itu memperoleh cukup banyak perhatian dalam sidang-sidang pleno. Pada saat itu John Stott sendiri telah mengubah pandangannya, serta mengetahui bahwa dalam misi terkandung amanat penginjilan maupun amanat budaya. Kongres Lausanne itu menghasilkan Ikrar Lausanne yang memuat suatu pernyataan yang tegas tentang amanat budaya dalam pasalnya yang ke-5, dan tentang amanat penginjilan dalam pasalnya yang ke-4 dan ke-6.


Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku
:
Strategi Perkembangan Gereja
Judul asli buku
:
Strategies for Church Growth
Penulis
:
C. Peter Wagner
Penerjemah
:
Tidak dicantumkan
Penerbit
:
Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang 1996
Halaman
:  
 81

MISI HOLISTIK: PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU


Holistic Mission from a Myanmar Perspective

(Di poskan ulang oleh Bernadetta Robertha) A. Ko Lay Introduction The word “holistic” is totally new both to our Church leaders and believers, when it was  rst used to interpret Mission and Evangelism in the late 1980’s. the Council of Churches instead of using the word “holistic”, used the word “integrated” to re ect the imperatives of Mission and Evangelism. In other words, doing Evangelism and Mission means embracing the total concerns of a person, that is his or her concerns - spiritual (soul), social, economic, health, education, justice, peace, and prosperity. We confess that when missionaries came to Myanmar their primary purpose was to win souls to Christianity. They totally failed to share that the biblical understanding of winning souls embraces the total person and his/her concerns. In spite of this weakness in their missionary enterprise they took initiative to promote social activities for the communities, for example, they built schools, hospitals, and clinics. For this they deserve praise and recognition. But it was not the end of the divine task entrusted to them. One of my colleagues made this re ection on the missionary enterprise of the missionaries. The early missionaries, he said, “only tried to impose Christianity to the non-Church peoples. Their concept was that there was no assurance of salvation in the Asian religions. In other words, they only tried to impose Christianity to the peoples of Myanmar, thereby, failing to take into account their cultures and the faiths of the nationals.” There is truth in his re ection. Our early missionaries refrained from giving the holistic Christian education to the believers. Their emphasis was on “separation of the Church and State.” It was almost one-sided, that is, giving priority to the nature of the Church and less on the State. The consequence of this dichotomy was that the believers began to nurture a thought that Church is sacred and the State is secular. Therefore, to get involved in the issues of the State was unholy. Thus even to speak that the Church must get involved in the socio-political concerns of the State was considered unbiblical. Christian participation in the issues of justice, human rights, oppression and exploitation was regarded as not part of the proclamation of the Good News. The missionaries of the early days were aware of the imperatives of the Gospel but literally failed to conscientise the church members on the holistic nature of Evangilism/Mission. One of the dire consequences was inheriting the “mission-compound mentality,” that is to say, believers must stay together in their own Christian communities. In this way separating themselves from secular (Civil) societies. The bottom line of this understanding was that Church is holy and the State (Civil society) is unholy. 57 In the 1980s, the country was ruled by the Socialist Regime with no opposition party to counter-balance the regime in the affairs of the country. During the period the church was isolated from the rest of the world. This situation enabled the national church to rethink its life and work and to re-interpret the nature of doing Evangelism and Mission in the given socialist contexts. The theology we worked out of during that socialist era was “theology in context” that embraces spiritual, socio-political and economic, realities, etc. In other words, doing Evangelism/Mission must be an integration of all these ingredients. In our language it is “Oth-Thon-Tharth-Nar” (the whole Mission). The “Oth-Thon-Tharth-Nar” simply means that Evangelism/Mission is holistic in its total nature. Since then the churches, especially the fourteen denominations of Myanmar Council of Churches were conscientised on biblical understanding of the holistic theology of Evangelism/Mission. When papers were presented at our workshops and seminars sponsored by Mission and Ecumenism Department of MCC, we always included a paper on doing “holistic” Evangelism/Mission in the given context. Today, for the member-churches of the MCC, the theology on holistic Evangelism/Mission is no longer an issue. This means the national leaders of the MCC member-churches are now fully committed to the biblical notion of Evangelism/Mission as always holistic in its very nature. The Executive Committee of the MCC gave the Mission and Ecumenism Unit (now Department) a mandate to conduct seminar at the national level to work-out a mission statement for the Council, that is, for member-churches. It is done. This Mission statement re ects that mission of the Church in Myanmar must always be holistic in its nature and embraces the whole creation and its concerns, that is justice, ecology, integrity of creation, etc. We believe that doing Evangelism/Mission in context must be according to Christ’s way. One may ask what is Christ’s way? We say Christ’s way has two basic principles or strategies to do Evangelism/Mission in a given context: (1) Incarnational approach and (2) Identi cation approach, which are biblical. Doing holistic mission in a given context in our regions (SEA) way not be the same for contextual realities are different, though same way be similar. Our task is to discern the context and its realities with the guidance of the Holy Spirit in order to receive style and strategies to perform our Evangelism/Mission.

MISI HOLISTIK ALLAH BAGI DUNIA

Bagi orang kebanyakan mungkin berlaku pepatah ini :”Sekali melancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Sekali seseorang bersikap tidak jujur dan merugikan orang lain, seumur hidupnya ia tidak akan dipercaya oleh orang yang telah ditipu. Bahkan ia mungkin dibenci seumur hidup oleh korbannya. Sikap manusia ini tidak didapati pada Allah. Hal ini nyata dalam peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa. Apa yang terjadi pada Allah pada waktu manusia pertama Adam dan Hawa melanggar perintah-Nya di taman Eden? Apakah Allah tidak lagi mempercayai mereka sebagai wakil atau duta-Nya yang dapat dipercaya bagi seluruh ciptaan? Sekilas membaca hukuman yang Allah berikan kepada mereka, sepertinya Allah sudah tidak lagi mempercayai mereka sebagai wakilnya. Akan tetapi kalau kita mau merentangkan dan membuka pemahaman kita akan karya Allah dalam sejarah hidup manusia setelah jatuh dalam dosa, maka kita akan menemukan perlakuan Allah kepada manusia berdosa, berbeda dengan perlakuan manusia berdosa kepada sesamanya. Cara Allah dalam memperlakukan manusia yang telah jatuh dalam dosa, Allah bukan hanya berhenti pada tahap menghukum mereka, tetapi terus merencanakan pembebasan bagi manusia dari hukuman kekal. Rencana agung Allah untuk manusia berdosa diwujudkan dalam misi-Nya menjangkau ciptaan-Nya yang telah memberontak (berdosa), membebaskan dari belenggu kutukan dosa, dan mensejahterakan hidup mereka. Narasi-narasi dinamika pengalaman hidup banyak tokoh Alkitab dengan Allah jelas menggambarkan hal tersebut. Beberapa diantaranya terlihat dalam kisah leluhur bangsa Israel, Abraham dan Yakub. Allah bukan hanya beranugerah dan memanggil Abraham dari penyembah berhala menjadi nenek moyang umat percaya, akan tetapi Allah juga memberkati hidup dia dengan kekayaan dan kesejahteraan selama masa pengembaraannya menuju tanah perjanjian (Kej. 24:34). Yakub si penipu itu mendapat anugerah Allah, diganti nama Israel dan mengalami pemeliharaan Allah yang luar biasa. Hidupnya diberkati dengan anak-anak, para pembantu dan ternak yang begitu banyak sewaktu lepas dari tangan mertuanya Laban dan saat bertemu dengan saudaranya Esau (Kej. 32:28; 33:11). Allah bermisi dalam sejarah hidup manusia secara holistik. Ia menghendaki seluruh manusia diselamatkan dari penghukuman kekal dan juga hidup sejahtera selama di dunia. Hidup sejahtera tentu tidak harus begelimangan harta. Akan tetapi dapat tampak dari tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hidup yang terhindar dari kelaparan karena kemiskinan, terhindar dari eksploitasi sesamanya karena kebodohan, terhindar dari kematian yang mengenaskan karena gizi dan kesehatan yang buruk, terhindar dari kekerasan dan ketakutan akibat tindakan kriminal sesamanya, sehingga manusia bisa beribadah dan menyembah Allah bebas dan damai. Misi Allah yang bersifat holistik harusnya menjadi orientasi kita. Manusia berdosa bukan hanya butuh keselamatan kekal di sorga nanti, tetapi juga memerlukan kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan kenyamanan hidup Karena itu, Gerakan misi orang percaya harusnya berjalan seimbang antara terlaksananya mandat agung dan mandat budaya. Misi pemberitaan injil harus diikuti misi untuk memperbaiki kualitas jasmaniah hidup manusia. Gambaran tentang Allah sebagai Gembala yang Baik dalam Alkitab sangat tepat untuk kita dalam melakukan misi holistik yang Allah kehendaki. Gembala yang baik bukan hanya bertanggung jawab agar nyawa ternaknya selamat dari pemangsa, tetapi juga harus memastikan bahwa piaraannya mendapat rumput hijau dan air yang segar sehingga dapat menghasilkan susu dan daging yang berkualitas. Maka itu berarti bahwa sebagai umat percaya acuan misi kita sejatinya melingkupi ranah pemberitaan injil dan perbaikan kualitas hidup sesama kita. Terjadinya transformasi berbagai aspek hidup manusia menjadi dambaan hidup kita. Alkitab berkata: Usahakanlah kesejahteraan kota dimana engkau tinggal agar kesejahteran kota itu juga menjadi kesejahteraanmu. Indonesia negeri tercinta kita ini membutuhkan misi umat percaya untuk meneranginya dengan terang sorgawi. Terang sogawi yang datangnya dari anak-anak Tuhan yang berperan di berbagai bidang/profesi guna mendatangkan kehidupan yang lebih baik. Berarti terang Injil harus bisa menerangi dunia pendidikan, ekonomi, hukum dan bisnis, IPTEK, pemerintahan dll. Kalau anak-anak Tuhan mendoakan dan mengusahakannya maka misi Allah yang holistik bagi dunia dapat dinikmati oleh kita semua. Mari kita bermisi sesuai dengan panggilan kita masing-masing. Apapun profesi atau bidang pekerjaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita merupakan misi bagi kita agar dikerjakan demi kesejahteraan kota, negara dan bangsa kita. Sebagai pendeta, guru, perawat, pedagang, pengusaha, birokrat, ahli hukum, militer, pegawai nergeri, pekerja swasta, guru, petani, nelayan, seniman, artis, dan apapun yang bermanfaat bagi sesama semuanya, itu merupakan berkat Tuhan bagi kita, sekaligus misi yang Allah embankan kepada kita demi kebaikan dan kesejahteraan hidup semua ciptaan. diambil Senin, 28 Januari 2008 oleh Imanuel Meok, M.Div (*Penulis adalah Pimpinan Cabang BPC Perkantas NTT) Diposkan oleh Disciples Perkantas Jawa Timur dientri ulang oleh Bernadetta Robertha

Percaya Diri Dalam Tuhan

Dipost lang oleh : Bernadetta Robertha

Kepercayaan diri adalah hal yang sangat indah, yang menguatkan kita untuk menghadapi hidup dengan keberanian, keterbukaan dan kejujuran. Orang Kristen dengan kepercayaan diri yakin bahwa mereka dicintai, berharga, dan aman dalam rencana Tuhan bagi hidup mereka. Saat kita merasa aman, kita akan lebih mudah melangkah keluar dan mencoba hal-hal baru, walaupun mungkin kita membuat beberapa kesalahan di sepanjang perjalanan. 
Kepercayaan diri memampukan kita untuk bergerak maju sambil mengharapkan kesuksesan dibanding sambil mengkhawatirkan kegagalan. Hal ini sangat esensial dalam memenuhi rencana Tuhan bagi hidup kita. Saya yakin bahwa salah satu dari hal-hal utama yang menghalangi kita sehingga kita tidak bisa berjalan dengan kepercayaan diri seperti yang Tuhan inginkan bagi kita adalah karena keraguan terhadap diri sendiri. Ketidakmampuan kita untuk percaya pada diri sendiri mengikat kita dan menutup kemungkinan kita untuk menjadi sukses. Meragukan diri sendiri dan percaya diri tidak berjalan bersamaan, mereka saling melawan satu sama lain. Karena itu, kita harus mengidentifikasi akar dari keraguan terhadap diri sendiri ini dan mengerti bagaimana mengembangkan kepercayaan diri kita di dalam Kristus. Keraguan Terhadap Diri Sendiri Berakar Dari Ketakutan Keraguan terhadap diri sendiri adalah jenis ketakutan yang menyiksa, yang menyebabkan kita takut untuk membuat kesalahan atau membuat keputusan yang salah. Bagi kebanyakan orang, hal ini berakar dari fakta bahwa mereka mempunyai perasaan yang salah tentang siapa diri mereka sebenarnya. Perasaan yang berakar dalam ini seringkali menahan kita untuk menerima diri kita sendiri dan mempunyai kepercayaan diri yang kita butuhkan untuk membuat berbagai keputusan. Hasilnya? Kita hanya hidup dalam kebingungan dan kebimbangan karena kita begitu takut untuk berbuat salah. Orang yang ragu terhadap dirinya sendiri sama dengan orang yang bimbang dan mendua hati. Alkitab menyatakan dalam Yakobus 1:5-8, bahwa Tuhan tidak dapat menjawab doa dari seseorang yang mendua hati karena dia tidak stabil dalam segala jalannya. Keraguan terhadap diri sendiri dapat menyebabkan kita kembali ke belakang dan bersembunyi, daripada bergerak maju ke arah yang Tuhan tunjukkan bagi kita. Kembali ke belakang merupakan tindakan dan respon terhadap rasa takut. Tuhan akan memberikan respon ketika kita bertindak dalam iman, bukan dalam ketakutan. Sementara musuh menggunakan rasa takut untuk mencobai dan menghalangi kemajuan kita serta mencuri tujuan dan fokus kita, Tuhan bekerja melalui iman untuk memenuhi panggilanNya atas hidup kita. 2 Timotius 1:7 Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. Langkah pertama untuk berjalan dalam kepercayaan diri adalah memperbaharui pikiran kita dengan tidak mengijinkan ketakutan memimpin hidup kita. Ketika kita menetapkan langkah untuk berjalan dalam Roh-Nya (kekuatan, kasih, dan ketertiban), maka kita akan mulai hidup dalam kepercayaan diri yang tak tergoncangkan, yang hanya bisa kita temukan di dalam Dia. Kepercayaan Diri Berakar Dari Iman Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa kepercayaan diri kita harus berada di dalam Kristus sendiri, bukan dalam diri kita, bukan dalam diri orang lain, dan bukan di dalam dunia atau sistemnya. Kepercayaan diri kita harus berakar dalam keyakinan akan cinta-Nya yang tanpa syarat kepada kita. Tanpa kepercayaan diri yang datang dari pengetahuan kita akan seberapa besar cinta-Nya pada kita, kita tidak akan pernah dapat menikmati hidup kita ataupun hubungan kita dengan-Nya. Keraguan adalah rasa takut untuk membuat kesalahan dan mempunyai pikiran-pikiran negatif tentang hal-hal yang terjadi pada kita. Sementara kepercayaan diri adalah mempunyai iman di dalam cinta-Nya untuk kita. Iman mengharapkan terjadinya hal-hal baik serta memampukan kita untuk menghadapi kesalahan-kesalahan yang kita perbuat dan untuk merasa aman, hidup tanpa kekuatiran atau ketakutan. Keyakinan bahwa kita dapat mencapai sukses dengan perkenanan-Nya, membantu kita menghadapi dan menangani setiap tantangan yang kita jumpai dalam hidup kita. Seiring dengan meningkatnya pengertian kita akan kasih dan perkenanan Tuhan, level kepercayaan diri kita juga akan meningkat. Sebagai hasilnya, kita akan menjadi lebih nyaman dengan siapa diri kita yang sebenarnya dan mampu menjalani kehidupan dengan keyakinan bahwa kita dapat menangani apapun yang ada di depan kita. 1 Yohanes 4:18 Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Saat Anda dan saya memilih untuk tetap memandang-Nya, cinta-Nya pada kita akan menghilangkan rasa takut dan ragu terhadap diri sendiri, memampukan kita untuk menunggu dengan harapan, dengan keyakinan bahwa Dia mempunyai rencana akan hal-hal yang baik untuk kehidupan kita. Menjadi Percaya Diri Di Dalam Kristus Kita hanya bisa percaya diri selama kita percaya dan mengandalkan kekuatan Kristus yang hidup dalam kita. Filipi 4:13 Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Kepercayaan diri adalah keyakinan bahwa kita dapat melakukan segala sesuatu yang Tuhan minta untuk kita lakukan karena kasih karunia-Nya. Melalui kekuatan-Nya kita dapat mengalahkan keraguan terhadap diri sendiri dan pikiran yang negatif. Bertahun-tahun yang lalu saya mempunyai masalah yang serius dengan kekurangan rasa percaya diri karena saya tumbuh dalam keluarga yang hancur. Ayah saya adalah seorang pecandu alkohol dengan temperamen yang tinggi. Dia telah menyakiti saya secara mental, fisik, emosional dan seksual. Saat saya berusia 18 tahun, saya telah mengalami banyak kesakitan dan kekecewaan. Tidak ada satupun yang saya harapkan terjadi di dalam kehidupan saya. Sehingga saya bertumbuh dengan mengharapkan terjadinya hal-hal buruk. Saya berpikir bahwa jika saya mengharapkan hal-hal yang buruk, maka saya tidak akan merasa kecewa jika hal-hal itu terjadi. Saya mengira dengan meninggalkan rumah masalah saya akan selesai, jadi saya pergi dari rumah ketika saya berumur 18 tahun. Apa yang tidak saya sadari adalah sebenarnya saya membawa masalah itu dalam diri saya. Pikiran, keinginan dan emosi saya telah rusak dan terluka. Saya adalah seorang yang patah hati dan penuh keraguan terhadap diri sendiri dengan karakter yang sangat negatif. Meski saya percaya kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya, saya tidak tahu apa-apa tentang iman. Saya tidak mengerti bagaimana berdoa dengan iman seperti yang tertulis dalam Alkitab. Saya harus belajar banyak untuk mempercayai Tuhan dan mendapatkan kepercayaan diri di dalam Kristus. Saya sangat bersyukur Tuhan telah mengubah saya dalam tahun-tahun selanjutnya, memulihkan saya, dan memberikan kehidupan yang layak kepada saya. Dia telah membebaskan saya dari ketakutan, sikap negatif dan keraguan terhadap diri sendiri. Dia telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menolong orang lain yang juga bergumul dengan masalah yang sama. Saya telah belajar bahwa saya bisa berkata TIDAK kepada ketakutan dan keraguan terhadap diri sendiri, begitu juga dengan Anda. Pilihan ada di tangan Anda. Ketika ketakutan mengetuk pintu Anda, Anda bisa menjawabnya dengan iman, dan ketika keraguan terhadap diri sendiri mengetuk pintu, Anda bisa menjawabnya dengan kepercayaan diri! 
 Kekuatan Dari Keputusan Tuhan menciptakan setiap kita dengan kehendak bebas. Sebagai orang percaya, kita dapat mengalahkan semua hal negatif yang iblis rencanakan bagi kita dengan melatih kekuatan kita untuk sepakat dengan Tuhan dan janji-janji-Nya. Seberapa besarpun keraguan yang kita rasakan, kita dapat memutuskan untuk tetap maju dalam iman, percaya diri dalam Tuhan dan firman-Nya. Dalam Yosua 24:15 kita melihat Yosua memilih untuk melayani Tuhan. Dia tidak mendasarkan keputusannya atas apa yang dilakukan orang lain atau bagaimana perasaannya, dia mendasarkan kepercayaan dirinya kepada janji-janji Tuhan. Jika kita percaya bahwa Tuhan di dalam kita, memimpin dan membimbing kita karena kita meminta-Nya, maka kita seharusnya mempunyai kepercayaan diri bahwa Dialah yang mengarahkan hidup kita. Anda dan saya harus memilih untuk percaya dalam janji-Nya, bukan pendapat orang lain atau bahkan pikiran dan perasaan kita sendiri. Dengan kata lain, kita tidak perlu merasa percaya diri karena kita bisa menjadi percaya diri. Kita hanya perlu mempelajari firman-Nya sehingga kita bisa sepakat dengan apa yang dikatakan-Nya dan melihat diri kita sendiri sebagaimana Dia melihat kita. Mungkin Anda mempunyai hal-hal negatif yang tersimpan dalam pikiran Anda seperti saya dulu, tapi Tuhan bisa mengubah semuanya itu. Dalam Yohanes 16:24 kita diperintahkan untuk meminta kepada Tuhan hal-hal yang Dia telah janjikan pada kita. Jika Anda dan saya merasa tidak layak, kita tidak mungkin memintanya dengan iman atau dengan percaya diri bahwa kita akan menerima apa yang kita minta. Mengapa? Karena keraguan terhadap diri sendiri akan selalu menghalangi kita untuk menerima yang terbaik dari Tuhan. Namun dengan memilih untuk sepakat dengan firman-Nya dan mempunyai kepercayaan diri di dalam Kristus, kita dapat menerima anugrah Tuhan yang terbaik dalam hidup kita. Jika Anda mau menikmati yang terbaik itu, mulailah membuat keputusan untuk melawan ketakutan dan mempercayai Dia. Mazmur 56:4 Kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku? Ketika Anda secara konsisten memilih untuk mengandalkan Tuhan, mempercayai apa yang firman-Nya katakan tentang Anda lebih daripada kata-kata orang lain atau perasaan Anda, Anda akan menghabiskan semakin sedikit waktu untuk meragukan diri sendiri. Melihat Apa Yang Tuhan Lihat Tuhan berkata bahwa Anda dan saya berharga, diciptakan dalam rahim ibu kita dengan tangan-Nya sendiri. Kita memiliki tujuan di dunia ini. Tuhan berkata bahwa Dia memanggil kita dengan nama kita dan kita adalah kepunyaan-Nya. Ambil waktu sejenak dan lihatlah ke dalam hati Anda, apa yang Anda lihat di sana? Apakah Anda dipenuhi dengan keraguan ataukah kepercayaan diri yang datang dari pengenalan yang dalam akan Tuhan dan kasih-Nya yang tak bersyarat bagi Anda? Jika jawaban Anda tidak sejalan dengan firman-Nya, saya mau mendorong Anda untuk mulai memperbarui pikiran Anda tentang bagaimana Tuhan memandang Anda. Jangan biarkan perasaan memimpin kehidupan Anda lagi. Ambil langkah iman dan mulailah mempercayai Tuhan hari ini. 
Pilihlah untuk sepakat dengan-Nya dan percaya bahwa Anda sangat berharga. Dia mempunyai rancangan masa depan yang hebat untuk Anda, dan itu dimulai sekarang! 
Sumber: joycemeyer